Pakar menyarankan agar semua pihak menghindari pembangunan infrastruktur di atas sesar aktif yang berpotensi menimbulkan gempa dahsyat. Langkah ini sangat penting untuk meminimalkan risiko korban jiwa akibat gempa yang sering melanda wilayah Indonesia.
Menurut Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB, Masyhur Irsyam, Indonesia terletak pada pertemuan empat lempeng tektonik, yaitu Lempeng Asia, Australia, Pasifik, dan Filipina. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan tingkat kerawanan gempa tertinggi di dunia.
Berdasarkan sifat alami dari gempa yang tidak bisa diprediksi, Masyhur menyatakan bahwa salah satu strategi utama yang dapat dilakukan adalah dengan tidak mendirikan bangunan di atas sesar aktif. “Kita harus menghindari pembangunan di tempat-tempat yang rawan gempa,” tambahnya.
Dalam forum membahas tentang teknologi bangunan tahan gempa di Jakarta, Masyhur menggarisbawahi pentingnya menghadapi berbagai bahaya seperti tsunami dan longsoran. “Kita juga harus menjauhi risiko likuefaksi yang biasanya muncul di daerah berpasir yang jenuh air,” ujar dia.
Bagaimana Sesar Aktif Mempengaruhi Infrastruktur di Indonesia?
Keberadaan sesar aktif berkontribusi besar terhadap kerusakan infrastruktur saat gempa terjadi. Banyak bangunan yang mengalami kerusakan parah akibat percepatan tanah saat guncangan. Kerusakan ini tidak hanya menghancurkan bangunan tetapi juga berpotensi mengancam nyawa.
Masyhur mencontohkan beberapa lokasi yang mengalami kerusakan parah akibat gempa, seperti Aceh, Yogyakarta, dan Padang. Dalam kasus-kasus ini, percepatan tanah berkontribusi besar terhadap keretakan dan keruntuhan struktur bangunan.
Praktik konstruksi yang buruk juga menjadi masalah lain yang harus dihadapi. Masyhur mengungkapkan adanya temuan kolom beton yang menggunakan paralon sebagai pengganti tulangan baja yang seharusnya, menandakan masih kurangnya perhatian terhadap kualitas konstruksi.
Desain Bangunan Tahan Gempa: Pendekatan yang Diperlukan
Iswandi Imran, Guru Besar Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan ITB lainnya, menekankan bahwa dalam desain bangunan tahan gempa, beban lateral akibat gempa harus diprioritaskan. Beban ini biasanya jauh lebih besar dibandingkan beban angin atau beban lateral lainnya yang mungkin dihadapi oleh bangunan.
Desain yang hanya fokus pada elastisitas saat guncangan berisiko menciptakan elemen bangunan yang terlalu berat dan tidak ekonomis. Sebagai solusinya, Indonesia menerapkan SNI 1726:2019 yang mengatur perencanaan ketahanan gempa untuk struktur bangunan gedung dan non-gedung.
Standar ini membolehkan struktur berfungsi secara inelastik saat diguncang gempa kuat, artinya bangunan mungkin akan mengalami kerusakan, namun tidak akan runtuh. “Meskipun strukturnya boleh rusak, keselamatan harus tetap terjamin,” kata Iswandi.
Bangunan perlu dirancang agar tetap elastis dalam menghadapi gempa kecil, yang biasanya terjadi. Namun, menghadapi gempa besar atau gempa yang terjadi dalam periode panjang seperti MCE (Maximum Considered Earthquake), struktur dipastikan akan mengalami deformasi.
Pentingnya Edukasi dan Pengawasan dalam Konstruksi
Para pakar sepakat bahwa penerapan standar konstruksi dan pengawasan yang ketat sangat penting. Ini berfungsi untuk mengurangi kerusakan yang kemungkinan besar timbul akibat gempa. Edukasi kepada masyarakat juga sangat diperlukan untuk mengurangi risiko yang ada.
Keterlibatan aktif semua pihak, baik pemerintah maupun swasta, dalam mengikuti regulasi dan praktek konstruksi yang baik harus terus digalakkan. Hal ini bertujuan agar bangunan di Indonesia bisa bertahan lebih lama dan lebih aman saat menghadapi bencana alam.
Sebagai penutup, peningkatan kualitas konstruksi dan kesadaran masyarakat akan pentingnya bangunan tahan gempa harus terus diprioritaskan. Dengan pendekatan yang benar, diharapkan kerusakan akibat gempa bisa diminimalkan.











