Kontroversi seputar Rancangan Undang-undang (RUU) Perampasan Aset kini menjadi sorotan utama di kalangan masyarakat, terutama terkait dengan beberapa pasal yang dianggap multitafsir. Pakar hukum dari Universitas Negeri Makassar, Harris Arthur Hedar, menekankan pentingnya memperhatikan pasal-pasal tersebut untuk memastikan keadilan dan melindungi hak-hak rakyat.
Dalam pernyataannya, Harris mengakui bahwa tujuan RUU ini baik, namun ada beberapa pasal yang berpotensi menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat. Hal ini bisa berisiko menurunkan kepercayaan rakyat terhadap hukum dan institusi negara.
Di pasal 2 RUU ini, negara diberikan kekuasaan untuk merampas aset tanpa menunggu hasil putusan di pengadilan. Praktik ini bisa menggeser prinsip praduga tak bersalah, yang merupakan salah satu dasar penegakan hukum yang adil.
Menyoroti Kontroversi Pasal Dalam RUU Perampasan Aset
Salah satu pasal yang menjadi perhatian adalah pasal 3, yang memungkinkan aset dirampas meskipun proses pidana terhadap individu tersebut masih berlangsung. Hal ini menimbulkan masalah hukum di mana seseorang dapat merasakan akibat dua kali; aset mereka dirampas sementara proses hukum masih berjalan.
Harris mengungkapkan bahwa dengan adanya dualisme hukum antara pidana dan perdata, masyarakat akan merasa dirugikan. Tidak jarang, hal ini membuat mereka merasa dihukum sebelum adanya kepastian hukum yang jelas.
Selanjutnya, pasal 5 ayat (2) huruf a mengatur perampasan aset dengan alasan ketidakcocokan antara jumlah kekayaan dan penghasilan yang sah. Menurut Harris, ini menimbulkan pertanyaan mengenai kriteria dan bukti yang digunakan untuk menentukan ketidakcocokan tersebut.
Aset Dapat Dirampas Tanpa Proses yang Jelas, Kata Harris
Pasal 6 ayat (1) menunjukkan bahwa aset bernilai minimal Rp 100 juta dapat menjadi sasaran perampasan. Ketentuan ini dapat membuat banyak pemilik aset yang tidak memahami hukum berpotensi kehilangan hak mereka.
Ada lagi pasal 7 ayat (1) yang menyatakan aset tetap bisa dirampas meskipun tersangka telah meninggal, melarikan diri, atau bahkan dibebaskan. Harris menegaskan bahwa ini mengubah beban pembuktian dan membuat posisi rakyat menjadi rentan.
Penting untuk dicatat bahwa transparency dan akuntabilitas harus menjadi prinsip utama dalam proses perampasan. Masyarakat berhak tahu tentang proses hukum dan juga harus mendapatkan edukasi mengenai hak-haknya untuk melindungi diri dari praktik-praktik yang tidak adil.
Pentingnya Perlindungan Hukum Bagi Ahli Waris dan Masyarakat
Harris juga memberikan saran untuk memperjelas definisi pasal-pasal yang dianggap kontroversial agar tidak membingungkan masyarakat. Terutama untuk melindungi ahli waris yang memiliki aset berdasarkan itikad baik.
Dia menekankan bahwa beban pembuktian harus ada pada pihak yang menuduh, bukan kepada rakyat yang tidak mengerti hukum. Keputusan yang diambil harus berdasarkan pada proses hukum yang adil dengan adanya keputusan independen dari pengadilan.
Dalam konteks ini, RUU Perampasan Aset harus dirancang dengan matang untuk menghindari penyalahgunaan kekuasaan. Proses yang transparan dan partisipasi publik sangat dibutuhkan agar semua orang merasa terlibat dan memiliki suara.
Wakil Ketua DPR Ingatkan Potensi Penyalahgunaan RUU Perampasan Aset
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR dari Fraksi PDIP, Sturman Panjaitan, memperingatkan agar RUU Perampasan Aset tidak disalahgunakan sebagai alat politik. Dia menekankan pentingnya pembahasan yang hati-hati dan melibatkan masyarakat secara luas untuk mendapatkan berbagai perspektif.
Sturman menyatakan bahwa diskusi mengenai RUU ini harus berulang dan melibatkan kampus-kampus untuk mendapatkan sudut pandang dari berbagai kalangan. Dia khawatir jika tidak, RUU ini bisa berubah menjadi senjata bagi pihak-pihak tertentu.
Dia juga menekankan bahwa naskah akademik RUU Perampasan Aset masih dalam tahap penggodokan. Oleh karena itu, substansi dari RUU ini dapat berubah seiring berjalannya waktu, tergantung pada hasil pembahasan dan kesepakatan antara DPR dan pemerintah.
Target Penyelesaian Proses RUU Perampasan Aset di Tahun 2025
Lebih lanjut, DPR RI dan pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU ini pada tahun 2025. Rencana ini akan dijadwalkan untuk dimasukkan ke dalam Prolegnas Prioritas 2025 dalam rapat yang akan datang.
Ketua Baleg DPR, Bob Hasan, menekankan bahwa semua proses harus dilakukan dengan cermat dan penuh pertimbangan. Target penyelesaian saat ini tidak hanya mengenai waktu, tetapi juga pada substansi dan makna dari RUU yang diusulkan.
Dengan demikian, penting bagi pihak-pihak terkait untuk terus mengawasi dan terlibat dalam proses ini. Hasil akhir RUU Perampasan Aset harus mencerminkan keadilan dan melayani kepentingan rakyat secara luas, bukan untuk kepentingan satu golongan.











