Akademisi Rocky Gerung menilai bahwa keputusan untuk membekukan sementara penggunaan sirene dan rotator oleh Korps Lalu Lintas Polri adalah langkah yang sangat tepat. Ia berpendapat bahwa respons cepat yang diambil oleh Kakorlantas Polri, dalam hal ini Irjen Agus Suryonugroho, menunjukkan kepedulian terhadap keresahan masyarakat yang semakin meningkat akibat kondisi lalu lintas yang bising.
Penilaian ini tidak lepas dari pandangan Rocky tentang bagaimana sirene seharusnya digunakan. Sirene, menurutnya, seharusnya terkait erat dengan makna filosofis yang dalam, dan bukan hanya menjadi simbol kekuasaan yang menimbulkan keresahan.
Dia menekankan bahwa di tengah perkotaan saat ini, suara yang seharusnya merdu justru sering kali menimbulkan kebisingan. Ini menunjukkan perlunya evaluasi terhadap cara penggunaan sirene di jalan raya agar lebih sesuai dengan tuntutan masyarakat.
Urgensi Evaluasi Penggunaan Sirene di Jalan Raya
Rocky Gerung menyoroti bahwa saat ini suara sirene yang sering digunakan di jalan malah mengganggu ketenangan pengguna jalan yang lain. Ia menyatakan, “Suara merdu bila dipaksakan jadi kebisingan,” dan ia memuji keputusan Agus untuk menghentikan penggunaan sirene sembarangan sebelum menjadi masalah yang lebih besar.
Ia percaya bahwa keputusan ini merupakan bentuk evaluasi yang diperlukan terhadap kebijakan yang ada, dan merupakan langkah awal yang baik untuk mengurangi stres di kalangan pengguna jalan lainnya. Dalam pandangannya, sirene yang tidak digunakan dengan bijak hanya akan menambah beban psikologis bagi masyarakat.
“Penggunaan sirene harus dilakukan dengan peraturan yang jelas. Ketidakpatuhan dalam penggunaannya akan berakibat pada terganggunya kenyamanan masyarakat,” tegasnya. Merupakan kewajiban semua pihak untuk menghargai ruang publik dengan cara yang lebih beradab.
Peran Sirene sebagai Simbol Peradaban dan Ketertiban
Rocky juga mencatat bahwa jalan raya bukanlah arena untuk menunjukkan kekuasaan, melainkan merupakan ruang peradaban bagi masyarakat. “Sirene mestinya bunyi merdu, bukan menakutkan,”ujar Rocky, menunjukkan harapan agar bunyi sirene bisa kembali pada tujuan asalnya.
Dalam pandangannya, masyarakat seharusnya dapat mendengar ‘nyanyian’ daripada ‘tetot-tetot’ yang mengganggu. Ia berkeras bahwa pengalaman berkendara di jalan raya seharusnya merupakan sesuatu yang damai, bukan sumber stres.
Rocky berharap bahwa keputusan ini membukakan jalan untuk mendengarkan aspirasi masyarakat sipil yang ingin hidup di ruang yang lebih mendukung peradaban. Sirene yang seharusnya disertai dengan misi keselamatan kini harus kembali pada konteks ini.
Respons Korlantas Polri terhadap Keresahan Masyarakat
Korlantas Polri telah resmi membekukan penggunaan sirene dan rotator ‘Tot Tot Wuk Wuk’ sementara waktu, sebagai respons terhadap kritik yang disampaikan masyarakat. Menurut Agus, saat ini pihaknya tengah memperbaiki aturan penggunaan sirene untuk mencegah penyalahgunaan oleh oknum yang tidak berhak.
Agus menjelaskan bahwa meski penggunaan sirene dihentikan, pengawalan terhadap kendaraan pejabat tetap berlangsung. Namun, penggunaannya harus dilakukan dengan sangat hati-hati dan hanya pada kondisi yang benar-benar memerlukan prioritas.
“Kami menghentikan penggunaan suara-suara tersebut sambil melakukan evaluasi,” ungkap Agus saat memberikan penjelasan kepada wartawan. Keputusan ini diharapkan dapat meredakan ketegangan di jalan raya yang sering kali disebabkan oleh suara sirene yang mengganggu.













