Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, yang dikenal sebagai Whoosh, telah menjadi sorotan karena berbagai permasalahan yang mengikutinya. Ketua Dewan Ekonomi Nasional, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa proyek ini menghadapi segudang kesulitan sejak awal pengembangannya.
Pernyataan Luhut mengenai proyek ini menunjukkan betapa banyaknya tantangan yang harus dihadapi. Ia bahkan menyebut proyek tersebut sebagai “barang busuk” ketika diambil alih pada tahun 2021, menandakan adanya situasi yang jauh dari harapan dalam pengelolaannya.
Serangkaian masalah yang berkembang seiring dengan pembangunan proyek ini menunjukkan kompleksitas dan tantangan yang harus diatasi oleh pemerintah dan pihak terkait. Dari pembengkakan biaya hingga keterlambatan jadwal, proyek ini menciptakan banyak pertanyaan di kalangan masyarakat.
Masalah Pembengkakan Biaya dalam Proyek Whoosh
Salah satu masalah utama yang mencuat adalah nilai proyek yang membengkak dari perkiraan awal. Awalnya, biaya proyek ini seharusnya sekitar US$5,13 miliar, namun seiring berjalannya waktu, anggaran ini terus bertambah tanpa kontrol yang jelas.
Titik awal pembengkakan dimulai ketika biaya awal disepakati sebesar US$6,07 miliar. Namun, laporan terbaru menunjukkan bahwa angka tersebut telah mencapai US$8 miliar, menggugah banyak pertanyaan mengenai transparansi pengelolaan anggaran.
Keadaan ini tidak hanya menunjukkan kelemahan dalam perencanaan, tetapi juga menimbulkan kekhawatiran akan keberlanjutan proyek dan dampaknya terhadap keuangan negara di masa depan. Pembengkakan biaya merupakan indikator penting dari efisiensi proyek yang sangat diperlukan.
Komitmen untuk Tidak Menggunakan APBN Terlanggar
Janji awal Presiden Joko Widodo yang menegaskan bahwa proyek ini tidak akan menggunakan anggaran pemerintah terverifikasi terbukti melenceng. Hal ini menjadi salah satu faktor yang membuat publik semakin skeptis terhadap pengelolaan proyek tersebut.
Setelah beberapa tahun berlalu, alokasi dana sebesar Rp4,1 triliun dari APBN untuk mendukung proyek Whoosh menunjukkan bahwa janji tersebut tidak ditepati. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mengenai transparansi dan akuntabilitas pemerintah dalam proyek besar.
Pelanggaran janji ini menambah tantangan yang dihadapi proyek Whoosh, dan dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Komitmen yang tidak ditepati menciptakan skeptisisme yang berdampak pada narasi umum tentang proyek tersebut.
Pembangunan yang Dianggap Serampangan dan Berisiko
Pembangunan Whoosh tidak lepas dari kritik terkait metode pelaksanaannya yang terkesan serampangan. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melaporkan bahwa sejumlah proyek dilakukan tanpa izin resmi, yang berpotensi membahayakan keselamatan publik.
Pembangunan pilar yang dikerjakan oleh PT KCIC menjadi salah satu contoh yang menunjukkan adanya pelanggaran dalam prosedur. Terlebih lagi, pengelolaan drainase yang buruk menyebabkan genangan air pada jalur utama, mengakibatkan kemacetan yang semakin mengganggu pengguna jalan.
Masalah-masalah ini menunjukkan perlunya antara lain kepatuhan pada regulasi dan standar yang diterapkan untuk proyek infrastruktur publik. Keberlanjutan proyek bisa terancam jika pelaksanaan tetap dilakukan dengan cara yang tidak terencana.
Jadwal Operasional yang Molor dan Berulang Kali Tertunda
Sejak dimulainya pembangunan pada tahun 2016, proyek Whoosh ditargetkan untuk rampung pada tahun 2019. Namun, keterlambatan sejumlah tahun menjadi kenyataan, terutama yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.
Tahun 2020 menjadi periode yang penuh tantangan ketika pemerintah harus menghentikan seluruh pembangunan guna fokus pada penanganan krisis kesehatan. Baru pada pertengahan 2021, proyek tersebut dilanjutkan kembali, dan akhirnya resmi beroperasi pada 17 Oktober 2023.
Kondisi ini telah menimbulkan banyak keraguan mengenai kemampuan proyek untuk memenuhi harapan awalnya. Keterlambatan yang berlarut-larut menciptakan dampak ekonomi dan operasional yang signifikan bagi masyarakat.
Masa Balik Modal yang Diperkirakan Sangat Lama
Kepala PT Kereta Cepat Indonesia China, Dwiyana Slamet Riyadi, pernah menyatakan beharapan untuk mencapai masa balik modal dalam waktu 38 tahun. Ini menunjukkan tantangan besar dalam mencapai keseimbangan finansial untuk proyek yang diharapkan akan menguntungkan.
Dengan adanya periode konsesi yang lebih lama, ada kekhawatiran bahwa keuntungan masih harus dibagi dengan pihak China bahkan setelah investasi awal berhasil dikembalikan. Situasi ini memunculkan kekhawatiran di antara pemangku kepentingan terkait dampak jangka panjang terhadap perekonomian nasional.
Perhitungan balik modal yang berlarut-larut ini menjadi hidangan pahit bagi banyak pihak yang berharap proyek ini akan menjawab kebutuhan transportasi di Indonesia. Laporan mengenai kebutuhan investasi yang terus meningkat menunjukkan bahwa ke depan perlu ada strategi yang lebih terencana dalam pengelolaan proyek infrastruktur besar.











