Dalam upaya mempercepat penguasaan tanah telantar, Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan Menteri ATR/Kepala BPN untuk mempersingkat periode penanganan dari 587 hari menjadi hanya 90 hari. Perubahan ini bertujuan untuk mempercepat proses reforma agraria dan memberikan manfaat kepada masyarakat secara lebih efisien.
Pihak kementerian mengungkapkan bahwa langkah ini diambil untuk menanggapi keluhan masyarakat terkait lamanya waktu yang diperlukan untuk penanganan tanah telantar. Menyusul arahan Presiden, revisi peraturan-peraturan yang mengatur hal ini sedang dalam proses penyelesaian.
Nusron Wahid, Menteri ATR/Kepala BPN, menjelaskan bahwa revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 diperlukan untuk mempercepat pengakuan tanah telantar. Proses izin dan evaluasi terhadap status tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun menjadi salah satu fokus utama dari perubahan ini.
Proses Revisi Regulasi untuk Mempercepat Reforma Agraria
Dalam audiensi di DPR RI, Nusron mengungkapkan bahwa langkah ini diambil demi kepentingan rakyat yang selama ini terpinggirkan. Pengaturan yang baru akan memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk mendapatkan akses terhadap tanah yang sebelumnya dinyatakan telantar.
Revisi ini juga diharapkan dapat menyelaraskan prosedur administratif yang selama ini dianggap memakan waktu. Dengan penurunan waktu dari 587 hari menjadi 90 hari, diharapkan akan muncul lebih banyak peluang bagi masyarakat yang membutuhkan tanah untuk bertani atau membangun tempat tinggal.
Lebih lanjut, Nusron menekankan pentingnya tanah telantar sebagai objek reforma agraria. Tanah tersebut meliputi berbagai macam status, mulai dari hak guna usaha (HGU) hingga hak guna bangunan (HGB) yang tidak dimanfaatkan, dan berhak dinyatakan sebagai tanah telantar setelah masa dua tahun tanpa penggunaan.
Peran Negara dalam Pengelolaan Tanah Telantar
Nusron juga menegaskan bahwa proses pengelolaan tanah telantar ini merupakan tanggung jawab negara. Ketika sebuah tanah tidak dimanfaatkan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, negara berhak untuk mengambil langkah-langkah tertentu, termasuk re-distribusi tanah tersebut.
Sistem ini diharapkan dapat mendorong pemanfaatan maksimal terhadap sumber daya tanah di Indonesia. Dengan cara ini, rakyat yang kesulitan akses terhadap tanah dapat mendapatkan kembali hak-hak mereka atas lahan yang tidak dipergunakan oleh pemilik sebelumnya.
Proses awal dari penetapan tanah telantar sebelumnya melibatkan pengiriman surat pemberitahuan kepada pemilik terkait status tanah mereka. Jika tidak direspons, pemerintah akan mengirimkan surat peringatan yang bertahap, yang menginformasikan pemilik akan konsekuensi dari ketidakaktifan mereka dalam memanfaatkan tanah yang dimiliki.
Konsekuensi Bagi Pemilik Tanah yang Tidak Dimanfaatkan
Akan tetapi, banyak pemilik tanah yang merasa keberatan dengan pengalihan hak atas tanah mereka. Nusron menjelaskan bahwa ini merupakan hal yang lazim dan tidak bisa dihindari, mengingat ketidakaktifan pemilik dalam memanfaatkan tanahnya sendiri.
Protes yang terus menerus dari pemilik tanah yang merasa haknya terambil alih menjadi menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah. Menurut Nusron, jika pemilik merasa terganggu, ini menunjukkan bahwa mereka sebenarnya tidak punya niatan untuk memanfaatkan tanah tersebut secara optimal.
Hal ini menjadi sorotan penting dalam diskusi mengenai hak tanah di Indonesia, di mana sudah seharusnya masyarakat memahami bahwa hak atas tanah bersifat sementara dan bukan permanen. Negara, sebagai pemilik hak atas tanah, berhak untuk mengaturnya sesuai kepentingan rakyat.













