Sejarawan Bonnie Triyana baru-baru ini mengungkapkan bahwa aktivis Hak Asasi Manusia, Malcolm X, terinspirasi oleh Konferensi Asia-Afrika yang diadakan di Bandung, Jawa Barat, pada tahun 1955. Pernyataan ini disampaikan Bonnie ketika memberikan kuliah umum di Departemen Sejarah, California State University, Sacramento, Amerika Serikat, di mana ia membahas dampak luar biasa dari konferensi tersebut.
Bonnie menegaskan bahwa Konferensi Asia-Afrika menjadi titik awal bagi banyak gerakan pembebasan di seluruh dunia. Dengan semangat yang dibawa oleh Konferensi ini, berbagai bangsa yang terjajah mendapatkan inspirasi untuk memperjuangkan hak-hak mereka.
Kegiatan tersebut diinisiasi oleh Presiden RI pertama, Soekarno, dan menyatukan berbagai negara yang sedang berjuang melawan kolonialisme. Hal ini menunjukkan bahwa kolaborasi internasional dapat memicu rasa solidaritas dan pergerakan yang lebih besar terhadap kesetaraan dan keadilan.
Pengaruh Konferensi Asia-Afrika Terhadap Aktivisme Global
Konferensi Asia-Afrika memiliki dampak yang mendalam, bukan hanya di kawasan Asia-Afrika, tetapi juga di belahan dunia lain. Menurut Bonnie, “Spirit Bandung 1955 menjadi inspirasi bagi banyak aktivis pembebasan bangsa-bangsa terjajah.” Hal ini menciptakan jaringan solidaritas yang meluas hingga ke gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat.
Gerakan ini dipicu oleh dialog yang berlangsung dalam konferensi, yang meningkatkan kesadaran akan perlunya kesetaraan di antara orang-orang kulit hitam dan non-kulit hitam. Malcolm X, khususnya, melihat di dalam Konferensi ini sebuah pemicu bagi perjuangannya di Amerika.
Bonnie juga menekankan bahwa pengaruh dari konferensi ini tidak hanya berhenti di Asia dan Amerika Serikat. Gerakan solidaritas ini mencapai benua lain, termasuk Amerika Latin, menunjukkan bahwa pergerakan pembebasan bersifat universal.
Penyelenggaraan Konferensi Trikontinental dan Dampaknya
Gerakan pembebasan yang dipicu oleh Konferensi Asia-Afrika berlanjut ke penyelenggaraan Konferensi Trikontinental di Havana, Kuba, pada tahun 1966. Hal ini menjadi tanda bahwa solidaritas antar bangsa sedang berkembang pesat dan semakin memperkuat perjuangan melawan penindasan.
Bonnie menyoroti bahwa konferensi ini menggalang solidaritas dari berbagai negara, terutama yang mengalami penindasan. Isu-isu yang diangkat pada Konferensi Trikontinental menjadi lanjutan dari semangat yang digaungkan di Bandung, menggambarkan pentingnya kolaborasi internasional.
Perjuangan di Havana tersebut berusaha menciptakan jembatan antar-negara yang berbagi pengalaman penderitaan. Ini menunjukkan bahwa ketidakadilan yang dialami dapat diatasi melalui kerjasama yang erat.
Relevansi Semangat Pembebasan di Zaman Modern
Walaupun banyak tantangan dihadapi oleh gerakan pembebasan progresif, semangat yang diusung oleh aktivis pada masanya tetap relevan. Bonnie mengemukakan, “Semangat pembebasan Asia-Afrika dan Amerika Latin masih relevan sampai hari ini.” Saat ini, banyak terjadi ketimpangan sosial dan ekonomi yang mengingatkan kita pada perjuangan yang dicetuskan di tengah konferensi tersebut.
Di era modern ini, masalah ketidakadilan dan perbedaan kesejahteraan antar negeri di belahan utara dan selatan semakin terasa. Hal ini menjadi pengingat bahwa perjuangan untuk hak asasi manusia dan keadilan sosial belum berakhir.
Bonnie juga menjelaskan bahwa meskipun pergerakan pembebasan di berbagai negara mengalami tantangan, semangat untuk mencapai keadilan sosial harus terus diaktifkan. Keterlibatan global dalam perjuangan ini menjadi kunci untuk menciptakan dunia yang lebih adil dan setara.













