Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja menolak uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 yang merupakan perubahan dari UU 34/2004 mengenai Tentara Nasional Indonesia. Penolakan ini melibatkan beberapa pemohon yang terdiri dari organisasi dan individu yang aktif berkecimpung dalam advokasi hak asasi manusia dan reformasi sektor keamanan di Indonesia.
Di antara pemohon tersebut, terdapat Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Imparsial, dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Pemohon individu yang ikut dalam uji formil ini termasuk aktivis hak asasi manusia, serta mahasiswa yang cukup vokal dalam menyampaikan pendapatnya. Keterlibatan mereka menandakan semakin meningkatnya perhatian terhadap isu-isu terkait reformasi TNI.
Pemohon V dan VI, yaitu dua aktivis, dinyatakan tidak memiliki kedudukan hukum yang cukup untuk mengajukan permohonan ini, sedangkan pemohon lainnya diakui memiliki posisi hukum yang jelas. Dalam putusan yang dibacakan oleh Ketua MK, hal ini menunjukkan bagaimana MK berusaha menjaga ketelitian dalam menghadapi permohonan yang diajukan.
Alasan Penolakan Uji Formil UU TNI dan Respons MK
Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa permohonan dari dua pemohon individu tidak dapat diterima dan menolak seluruh permohonan dari pemohon lainnya. Ini menunjukkan ketegasan MK dalam menanggapi permohonan yang dirasa tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Salah satu hakim MK, Daniel Yusmic P Foekh, menyatakan bahwa UU 34/2004 telah terdaftar dalam Program Legislasi Nasional dan dicantumkan dua kali sebagai prolegnas prioritas. Hal ini mengindikasikan adanya kepentingan mendesak untuk merespons tantangan di bidang pertahanan dan keamanan negara.
Daniel juga menekankan bahwa keputusan DPR untuk memasukkan revisi UU TNI ke dalam prolegnas prioritas memiliki kekuatan hukum yang sah. Hal ini menunjukkan bahwa sedari awal proses legislasi tersebut melalui mekanisme yang sesuai.
Ulasan Terhadap Proses Pembahasan dan Partisipasi Publik
Sementara itu, Hakim MK M Guntur Hamzah menjelaskan bahwa pembentuk undang-undang telah membuka ruang untuk partisipasi masyarakat dalam pembahasan. Diskusi publik baik secara tatap muka maupun elektronik telah dilakukan untuk mengakomodasi suara masyarakat.
Meski demikian, terdapat dissenting opinion dari sejumlah hakim yang menyarankan agar permohonan dari pemohon seharusnya dipertimbangkan lebih lanjut. Terdapat keprihatinan terhadap bagaimana proses legislasi ini dilakukan dan potensi pelanggaran hak partisipasi publik.
Kritik juga datang dari Tim Advokasi Reformasi Sektor Keamanan, yang mencatat adanya kekurangan dalam proses legislasi sebelumnya. Mereka mempertanyakan keabsahan proses yang melibatkan pengambilan keputusan tanpa transparansi yang cukup.
Pentingnya Transisi Menuju TNI yang Lebih Profesional
Dalam konteks revisi UU TNI, terdapat keinginan untuk menciptakan tentara yang lebih profesional dan menjauhkan diri dari politik. Namun, penambahan jabatan sipil untuk prajurit aktif di dalam revisi ini justru dianggap memperluas peran militer dan menyalahi cita-cita awal pembentukan UU 34/2004.
Aspek keterbukaan dalam pembahasan juga menjadi sorotan penting, di mana banyak dokumen terkait tidak dapat diakses publik. Ini menjadi polemik tersendiri, mengingat hak masyarakat untuk mengetahui dan berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan pemerintah.
Dari segi hukum, keputusan MK menunjukkan bahwa meskipun pemohon memiliki niat untuk bergerak menuju reformasi, proses yang dijalankan harus mengikuti ketentuan yang berlaku agar dapat menciptakan hasil yang diharapkan.
Kesimpulan dari Putusan MK dan Implikasinya
Putusan ini menjadi refleksi tentang bagaimana hukum dan partisipasi publik berinteraksi dalam konteks reformasi TNI. MK menegaskan pentingnya prosedur yang jelas dalam pengambilan keputusan yang berdampak luas pada masyarakat.
Kendati ada pendapat berbeda dari sejumlah hakim, keputusan ini secara keseluruhan menekankan bahwa proses legislasi yang baik harus melibatkan transparansi dan keterbukaan untuk menciptakan kepercayaan masyarakat terhadap hukum.
Ke depan, penting bagi semua pihak untuk tetap berkomitmen dalam mendorong reformasi yang tidak hanya memenuhi aspek formal hukum, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat sebagai langkah untuk mencapai keamanan dan pertahanan yang berkelanjutan.













