Dua orang guru dari SMA di Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan, Abdul Muis dan Rasnal, baru-baru ini dipecat setelah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim. Mereka terlibat kasus pungutan dana dari orang tua siswa untuk membantu guru honorer yang tidak mendapat gaji.
Pemecatan ini mengundang reaksi dari berbagai pihak, termasuk Ketua Persatuan Guru Indonesia (PGRI) di Luwu Utara, Ismaruddin. Ia menjelaskan bahwa pemecatan dilakukan melalui surat keputusan yang dikeluarkan oleh Gubernur Sulawesi Selatan.
Proses pemecatan ini juga menyoroti masalah lebih besar di dunia pendidikan, terutama mengenai perlakuan kepada para pendidik. Banyak yang merasa bahwa langkah tersebut mengabaikan prinsip keadilan dan adanya alternatif solusi yang lebih manusiawi.
Pemecatan Guru dan Rasa Keadilan yang Terkikis
Ismaruddin menjelaskan bahwa keduanya dinyatakan PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat). Namun, pihaknya merasa ada yang tidak beres dalam proses ini, terutama dalam langkah awal yang seharusnya melibatkan pembinaan. Ismaruddin menyatakan bahwa seharusnya ada dialog yang berlangsung sebelum keputusan berat seperti pemecatan diambil.
Ia juga mencatat bahwa Mahkamah Agung tidak secara eksplisit memerintahkan pemecatan, melainkan hanya menyatakan mereka bersalah dalam kasus pungutan tersebut. Oleh karena itu, ada pertanyaan mengenai dasar hukum dari pemecatan yang ditujukan kepada kedua guru tersebut.
Dalam konteks ini, sikap PGRI menunjukkan betapa pentingnya proses kependidikan yang adil dan transparan. Sebuah proses yang tidak hanya mempertimbangkan hukum, tetapi juga unsur kemanusiaan dan keadilan untuk para guru yang berpengabdian.
Panggilan untuk Keadilan dari Presiden Prabowo
Ismaruddin menyatakan niatnya untuk meminta pengampunan kepada Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Dia berharap agar presiden memberikan grasi pada Abdul Muis dan Rasnal, sehingga mereka dapat mendapatkan kembali hak dan martabat mereka sebagai guru.
Usulan ini bukan hanya sekadar berharap, melainkan juga mencerminkan kepedulian terhadap kesejahteraan pendidik. Dalam pandangan Ismaruddin, langkah tersebut juga penting untuk menunjukkan besarnya tanggung jawab pemerintah terhadap guru yang telah mengabdikan diri.
Kasus ini bermula pada tahun 2018 saat Rasnal berusaha membantu rekan-rekannya yang belum mendapat gaji selama beberapa bulan. Niatan baik ini, yang justru berujung pada masalah hukum, menyoroti paradoks yang seringkali terjadi dalam dunia pendidikan.
Konteks Pungutan dan Tindak Lanjut yang Diperlukan
Pungutan yang dilakukan kepada orang tua siswa ini bukanlah tindakan sepihak, melainkan inisiatif dari kedua guru untuk membantu pihak yang membutuhkan. Banyak orang tua siswa juga ikut merestui langkah ini, yang diusulkan tanpa paksaan.
Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian terhadap nasib guru honorer yang sering kali terabaikan. Dalam prosesnya, mereka juga terlibat aktif, menunjukkan bahwa sebenarnya ada kesepakatan yang terbentuk di komunitas sekolah.
Namun, situasi ini menjadi rumit ketika aspek hukum mulai diterapkan. Justru inisiatif mulia dari para guru yang ingin membantu menjadi bumerang, yang berujung pada pemecatan. Ini menuntut kita untuk meninjau kembali bagaimana regulasi berfungsi dalam pendidikan.
Dari kasus ini, ada pelajaran berharga yang dapat diambil. Bahwa perlu ada ruang untuk diskusi dan dialog antara guru, masyarakat, dan pemerintah agar tidak terjadi kesalahpahaman yang berujung pada tindakan yang merugikan banyak pihak. Kebijakan pendidikan harus mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan kesejahteraan pendidik yang pada akhirnya juga berdampak pada kualitas pendidikan itu sendiri.













