Dalam sebuah kasus yang mengguncang masyarakat, Jaksa Penuntut Umum telah membacakan tuntutan terhadap terdakwa Priguna Anugrah Pratama, seorang dokter program PPDS yang terlibat dalam tindak kekerasan seksual. Sidang ini berlangsung pada Senin lalu di Pengadilan Negeri Bandung, dengan perhatian yang besar dari masyarakat mengenai kasus tersebut.
Pembacaan tuntutan tersebut diadakan secara tertutup, menandakan sensitivitas dari kasus ini. Korban yang terlibat adalah anggota keluarga pasien di sebuah rumah sakit terkemuka, RSHS Bandung, yang seharusnya memberikan rasa aman dan perlindungan.
Dalam sidang itu, Kasipenkum Kejati Jawa Barat, Sri Nurcahyawijaya, mengungkapkan bahwa jaksa menuntut pidana penjara selama 11 tahun untuk terdakwa dengan sejumlah pertimbangan yang matang. Ini merupakan langkah signifikan dalam upaya penegakan hukum terhadap kekerasan seksual yang marak terjadi di masyarakat.
Tuntutan Hukum yang Diajukan oleh Jaksa di Pengadilan
Jaksa juga menuntut denda sebesar Rp100 juta, yang dapat diganti dengan tambahan enam bulan penjara jika tidak dibayarkan. Tuntutan ini didasari oleh Pasal 6 huruf c jo. Pasal 15 ayat (1) dan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Pidana tambahan dalam tuntutan jaksa mencakup kewajiban untuk membayar restitusi kepada para korban, sesuai dengan perhitungan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ini menunjukkan bahwa pihak berwenang serius dalam memberikan keadilan bagi para korban yang terdampak dari tindakan terdakwa.
Total restitusi yang harus dibayar terdakwa mencapai Rp137.879.000, dengan rincian mendetail yang mencakup beberapa korban. Hal ini tidak hanya menjadi langkah rehabilitasi bagi para korban, tetapi juga diharapkan mampu memberikan efek jera bagi pelaku kekerasan seksual di masa depan.
Pertimbangan dalam Tuntutan: Hal yang Memberatkan dan Meringankan
Dalam pertimbangan tuntutan, jaksa mencatat faktor-faktor yang memberatkan, termasuk dampak psikologis yang dialami oleh para korban setelah insiden tersebut. Perbuatan tersebut merusak kehidupan sosial dan masa depan para korban, yang seharusnya mendapatkan perlindungan di rumah sakit.
Selain itu, status terdakwa sebagai seorang dokter yang seharusnya memberikan rasa aman justru menjadi poin yang memberatkan. Ini menunjukkan penyalahgunaan profesi yang seharusnya mengutamakan etika dan kepedulian kepada pasien dan keluarganya.
Namun, ada juga faktor meringankan dalam pertimbangan jaksa, seperti pengakuan dan penyesalan terdakwa atas perbuatannya. Hal ini menjadi pertimbangan penting dalam penjatuhan hukuman, meskipun tidak mengurangi beratnya tindakan yang dilakukan.
Detail Kasus: Kronologi dari Pelecehan yang Terjadi di RSHS Bandung
Kasus ini terungkap pada awal Maret 2025, saat seorang pasien bernama FA yang menjaga ayahnya, diminta untuk mengikuti terdakwa ke ruang IGD. Di sana, dia diarahkan untuk berganti pakaian dan kemudian mengalami tindakan pembiusan yang membawa kepada insiden keji tersebut.
Setelah menyadarkan diri, korban merasakan sakit yang hebat pada alat vitalnya. Ketidaknormalan ini mendorong keluarga korban untuk melaporkan kejanggalan tersebut kepada pihak kepolisian, mengingat adanya tanda-tanda pelecehan.
Keluarga korban merasa sangat keterkejut ketika mengetahui bahwa kejadian tersebut terjadi dalam konteks pelayanan medis seharusnya. Penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian berhasil mengungkap bahwa bukan hanya satu, tetapi beberapa korban lainnya juga terpengaruh oleh tindakan terdakwa.













